Menunggu Janji Menhut Dan Kejagung Usut 1,8 Juta Hektar, Kebun Sawit Ilegal Di Riau

Menunggu Janji Menhut Dan Kejagung Usut  1,8 Juta Hektar, Kebun Sawit Ilegal Di Riau
Wahyudi El Panggabean, Wartawan Senior, Direktur Utama, Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC)

Oleh : Wahyudi El Panggabean

Alam selalu mampu memenuhi kebutuhan manusia.Tetapi, tidak mampu mecukupi keserakahannya. (Mahatma Gandhi_Aktivis Kemanusiaan dari India)
              
PEKANBARU(JKR)_Presiden Prabowo Subianto"Perang" dengan koruptor. Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Anthoni, janji perang dengan mafia sawit. Bakal seru.

"Saya dan Kejagung akan mengusut semua kebun sawit illegal," kata Menhut kepada pers (1/11) silam.

Dipastikan, para pesawit bodong alias pekebun illegal, mulai ketar-ketir. Tidak bakalan tidur nyenyak. Meski harga Tandan Buah Segar (TBS), makin segar, toh,  ancaman Menhut ini,  mulai membuat deg-degan.

Mengingat, negara terus dirugikan dengan skala besar, membuat nyali Menhut, yang juga putra kelahiran Riau, semakin tertantang.

Di sisi lain, mungkin, Menhut memprediksi, pengusutan sawit illegal ini,l secara tuntas, akan memperdangkal jurang ketimpangan sosial di bumi leluhurnya.

Komitmen Menhut inilah yang ditunggu. Meski di lain sisi, janji Menhut ini, terasa bagai tebaran "teror" bagi pesawit bodong di Riau. Apa boleh buat.

Loh? Siapa suruh merambah hutan negara? Siapa suruh, berkebun di Tesso-Nilo? Siapa suruh, buat Kelompok Tani palsu?

Dalam waktu dekat, jika Tuhan mengizinkan, semua kedok para komunitas rakus ini, akan terkuak.

Inilah ancaman hukumannya bagi yang menguasai hutan negara tanpa ijin alias pelaku tindak pidana kehutanan. Penjara maksimum 10 tahun dan denda maksimum Rp 7,5 miliar.

Ancaman hukuman ini, berdasarkan Pasal 78 Ayat 2 Jo.  Pasal 50 Ayat 3 Huruf a Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diubah dengan Pasal 36 Angka 19 Pasal 78 Ayat 2 Jo. Pasal 36 Angka 17 Pasal 50 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

So, dalam waktu tak lama lagi, para penikmat kekayaan dari hutan negara, akan terkesiap. Saat jubah kepalsuan organisasi petani sawit yang jadi tameng, tak lagi "memayungi". Karena trik permainan "sebelas-dua belas" juga. Manipulatif!

Terendus dugaan modus operandi. Selama ini, aktivitas illegal para "pesawit haram" ini, mengawali strategi dengan mengumpul ratusan fotocopy KTP warga pemukim sekitar hutan yang akan dirambah.

Dari tumpukan poto-copy KTP itu, lanjut ke pendirian Kelompok Tani. Jika berencana membuka kebun sawit 200 hektare misalnya, dibutuhkan seratusan fotocopy KTP warga.

Asumsinya: 2 hektare lahan untuk satu KK. Mewakili satu KTP. Untuk beroleh 100 poto-copy KTP, bisa lewat joki di desa. Dibayar murah saja, lewat si Joki warga sudah bersedia.

Selanjutnya, melalui prosedur urusan legalitas. Ah, itu urusan gampang, selagi kaum birokrasi daerah, matanya masih hijau memandang cuan merah.

Tindakan teknis di lapangan, menunggu kemarau tiba. Saat land clearing, cukup dengan modal mancis atau korek api. Pemantik hasil rambahan.

Perduli amat dengan bencana asap. Yang penting, masa tanam sawit segera tiba. Seratus hari ke depan kebun 200 hektar itu, akan menyedot dollar dari bumi. Menyemburkan kekayaan. Seterusnya, biar aman, segera bergabung di bawah legalitas organisasi petani sawit.

Seperti itulah, gambaran umum permainan para "pesawit haram" ini. Gampang. Di Riau, luas area sawit bodong ini, sudah mencapai 1,8 juta hektare. Atau lebih separo total kebun sawit Riau, yakni : 3,5 juta hektare.

Mengerikan sekali. Jumlah total penduduk Riau yang 6,7 juta jiwa saja, hanya terdiri dari 1,7 juta Kepala Keluarga (KK).

Itu artinya, setiap KK warga Riau seyogianya bisa memiliki satu hektar kebun sawit andai pemerintah berani menyita dan membagi secara merata seluruh kebun sawit yang tumbuh di atas hutan negara itu.

Lantas, bagaimana jika semua sawit illegal ini diserahkan kepada masyarakat miskin di Riau? Kita lihat dulu sebaran warga miskin di Riau.

Berdasarkan data  Biro Pusat Statistik Riau (2023) jumlah masyarakat miskin di Riau hanya 648 ribu jiwa atau sekitar 120 ribu KK.

Nah, dari gambaran data ini, akan menjadi hal menakjubkan, karena setiap KK warga miskin  akan beroleh 16 hektare kebun sawit, andai semua kebun sawit illegal itu disita dan dibagi rata untuk warga marginal.

Tetapi, itu berandai-andai. Itu hanya imajinasi yang belum jelas, seperti Tim Satgas Penertiban Sawit Illegal yang dibentuk Gubernur Riau, Syamsuar, 5 tahun silam.

Tim Satgas yang diketuai, Wakil Gubernur Riau, Edi Natar Nasution ini, sampai kini, tak jelas kabar beritanya. Sementara, para pesawit haram ini semakin merajalela memperdalam jurang ketimpangan sosial di Bumi Melayu.

Syukurlah! Masih ada, harapan terakhir, atas realisasi komitmen Menhut dan Kejagung. Paling tidak, akan mengubah nasib sebagian masyarakat Riau yang selama ini menjadi penonton atas penjarahan kekayaan alam mereka.

Mereka, yang selalu menjadi korban iming-iming dan janji penguasa yang terus membohongi mereka dengan teori raja-raja masa silam:

"Hanya, perlu rakyat, saat pergi berburu...".

Wahyudi El Panggabean, Wartawan Senior, Direktur Utama, Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC).

Berita Lainnya

Index